Minggu, 30 Mei 2010

manusia dan keterasingan

Andaikata peradaban itu memiliki rumah, tentu sekali tunjuk Anda tidak sulit menyebutkan tempatnya: Eropa! Sederhana, karena kebudayaan manusia kontemporer memang dirancang dari Benua Biru itu. Momentumnya adalah renaisans. Tapi, merujuk pada sejarah, kita mudah menyingkirkan asumsi-persepsi-definisi bahwa Eropa sebagai rumah peradaban. Sebab, ada rumah-rumah yang lain, misalnya, India, Cina, Meksiko, Arab, atau Mesir.

Rumah lain peradaban kita merupakan mata rantai. Dan fungsi sejarah sekadar penghubung agar mata rantai itu menjadi kisah yang utuh. Eropa, betapapun adalah mata rantai terakhir peradaban manusia. Karena itu, spontanitas kita ketika menyebut Eropa–yang melahirkan Amerika–sebagai rumah peradaban semacam internalisasi (sejarah): bukan indoktrinasi. Sekalipun internalisasi itu membonceng kolonialisme pada mulanya.

Ternyata buah kolonialisme membuat Eropa merupakan pemenang kontestasi peradaban manusia beberapa abad terakhir. Agaknya kita tidak perlu berdebat parameternya. Faktanya ikon-ikon peradaban yang tertanam di benak kita setidaknya memanggul nama-nama seperti Van Gogh, Mozart, Einstein, hingga Karl Marx! Dari situ, tahulah kita, mengapa Eropa–kemudian kita sebut Barat–sedemikian terkesima menyaksikan muslim marah di mana-mana.

Bagaimana mungkin, cuma karikatur tentang Muhammad yang dimuat di koran kecil Denmark, Jyllands-Posten, menjadi api yang membakar belahan dunia lain. Kebebasan berekspresi adalah spirit yang telah mengantarkan Eropa menjadi tempat paling beradab. Melalui kolonialisme, peradaban itu didistribusikan Eropa ke mana-mana. Janggal, bagi Barat, kalau akhirnya banyak tempat jadi beradab, tapi mengapa kebebasan berekspresi sebagai spiritnya justru dilawan mati-matian?

Misalkan karikatur itu sengaja melecehkan Islam karena Muhammad menjadi bahan tertawaan, Barat akan mudah menepis bahwa penghinaan juga pernah bertubi-tubi ditujukan kepada kristianisme. Yesus Kristus tidak kalah konyol dilecehkan. Bahkan jamak saja ketika musisi John Lennon dari Beatles menyatakan dirinya lebih populer ketimbang Kristus. Termasuk tidak sedikit artis Barat yang mengenakan tanda salib dalam sejumlah adegan konyol, bahkan sanggama!

Namun, perbandingan Muhammad dan Kristus, dua tokoh dunia dari Timur–dalam konteks Barat sebenarnya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Betapapun, Eropa sejak lama menjadi rumah yang membesarkan Kristus. Karena itu, kita anggap lumrah bila lukisan profil Kristus–termasuk visualisasi Da Vinci dalam Perjamuan Terakhir atau yang lebih kondang karya Cavarraggio–selama ini seakan-akan berasal dari negeri di Eropa, bukan Asia.

Berbeda dengan Kristus–yang sama-sama keturunan Ibrahim, bapak para nabi–Muhammad bagi Barat selamanya orang asing. Sekalipun Islam sempat singgah lama di Eropa melalui pintu Cordoba. Karena itu, Muhammad tidak pernah “terbaratkan” layaknya Kristus. Rumah Muhammad tetap Asia, yang peradabannya pun dituntun Barat. Pertanyaannya, apakah argumen itu memiliki implikasi serius? Tentu! Fakta kristianisme, terutama katolikisme biasa dilecehkan di Barat yang notabene telah menjadi rumah Kristus, sebenarnya tidak cukup jadi alasan pemaaf terhadap kebebasan berekspresi karikaturis Denmark. Kesahihannya, terlebih dulu harus kita uji dengan pertanyaan–yang mungkin–naif.

Apakah orang-orang Kristen dan Katolik di Barat juga dilecehkan-persisnya didiskriminasi–sebagaimana dialami gadis-gadis yang mengenakan jilbab dan divonis melanggar aturan sekolah? Apakah memakai jilbab yang dilakukan muslimah di Paris dan London, sehingga mereka terusir dari sekolah mereka, berbeda dengan yang dikerjakan karikaturis Jyllands-Posten? Apakah jilbab bukan bagian dari kebebasan berekspresi? Apakah karena memakai jilbab merupakan konsekuensi teologis yang menyebabkan kategori kebebasan berekspresinya serta-merta menjadi gugur?

Pertanyaan itu sudah seharusnya menuntun kita untuk memahami (tidak usah memaklumi) reaksi muslim sedunia, terutama perilaku mereka yang bereaksi hingga melakukan aksi-aksi destruktif. Mereka merasa mengalami penghinaan dan perlakuan keji repetitif dan variatif: dari waktu ke waktu. Tonny Blair, George Bush, Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, atau Peter Rosler Garcia, akademisi dari Hamburg yang kerap menulis di koran-koran kita, selalu gagal memahami reaksi itu. Atau, setidak-tidaknya mereka menilai Barat pun tidak setuju dengan karikatur itu, tapi mereka tetap tidak mengerti atas reaksi muslim yang sungguh berlebihan.

Itu, kalau kita jujur, setali tiga uang dengan peristiwa 9/11. Ketika, konon, kaki tangan teroris Usamah bin Ladin menghantamkan bom ke jantung Amerika. Pasti, banyak muslim yang dapat merasakan duka cita–katakanlah–Barat. Tapi sekaligus mereka pun tidak mengerti atas reaksi dahsyat Amerika dengan menghancurkan sebuah negara (Irak) untuk membalaskan hangusnya WTC.

Apa artinya semua itu? Hipokrisi Barat? Agaknya lebih rumit lagi. Kontribusi Amerika terhadap peradaban mutakhir yang semula dirancang Eropa adalah globalisasi. Repotnya, globalisasi menjadi ironi peradaban. Kalau Revolusi Prancis mematok kemerdekaan (liberte), kesederajatan (egalite), dan persaudaraan (fraternite), hulu-hilirnya tentulah pluralisme. Tanpa asumsi pluralisme apakah peradaban kita membutuhkan kemerdekaan, kesederajatan, dan persaudaraan? Padahal globalisasi justru melakukan hal yang sebaliknya. Globalisasi sangat agresif-sistematis mencabuti akar-akar pluralisme demi mendesakkan nilai baru: singularisme!

Sayangnya, dalam lalu lintas peradaban kita, Muhammad atau Islam bagi Barat tetap saja merupakan figur atau sesuatu yang asing. Paling jauh, tamu yang senantiasa pantas dicurigai. Posisinya jadi jelas, ketika kristianisme biasa dilecehkan di Eropa, kita menilai Barat seakan-akan sedang menuding mukanya sendiri. Tidak aneh, banyak komentar tentang itu menyimpulkan betapa arifnya Barat memahami sekaligus memaklumi pelecehan Kristus sebagai kritik. Hanya, ketika karikatur Jyllands-Posten dibuat dan disebarluaskan, Barat tidak sedang menuding mukanya sendiri, melainkan muka orang lain, Muhammad: tamu atau orang yang selamanya dianggap asing. Banyak muslim yang terusik, begitukah kenyataannya Islam: sudah tidak diterima di rumah peradaban (Barat) lalu dilecehkan pula?

Karikaturis Jyllands-Posten nun di Eropa sana melalui karyanya telah menyatakan kemerdekaannya berekspresi, mengambil hak kesederajatannya sebagai manusia. Tapi terbukti ia tidak sensitif terhadap nilai persaudaraan (fraternite) terhadap manusia-manusia lain di luar Eropa: yang mungkin belum seberadab dirinya. Peradaban yang menista persaudaraan. Atau sejak semula memang menafikannya.

Afnan Malay, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar